Dunia tersentak ketika Jepang diguncang gempa hebat dan diterjang tsunami yang mengerikan dan meluluhlantakkan kota yang bersih nan indah di pantai timur utara Pulau Honshu. Bencana telah menelan ribuan korban jiwa dan harta benda. Namun dari pemandangan yang memilukan dan memiriskan hati itu, ada kekaguman terhadap perilaku dan sikap orang Jepang. Dalam kondisi yang terbatas, mereka masih tetap berusaha untuk tenang, tidak panik, saling menyemangati, bahu membahu dan selalu percaya dengan langkah dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan. Andai saja tidak terjadi tsunami, berita yang datang bak air bah tentang tragedi Negeri Sakura tidak menjadi headline di media dalam waktu yang cukup lama.
Perilaku dan sikap mengagumkan yang ditunjukkan orang Jepang telah menjadi prinsip dasar kehidupan yang menjadi kebiasaan dan mendarah daging dalam norma dan etika yang diterapkan baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun ketika menjalankan aktivitas bisnisnya.
1. Disiplin dan kemandirian yang tinggi
Disiplin dan kemandirian orang Jepang memang luar biasa. Bangsa Jepang terkenal sebagai bangsa yang sangat disiplin, sehingga wajar apabila mereka dengan cepat dapat menjadi salah satu bangsa yang terkemuka di dunia saat ini. Disiplin dalam segala hal bagi orang Jepang merupakan prioritas. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dengan disiplin akan melancarkan segala urusan dan tidak menjadikan orang lain dirugikan atau disakiti. Banyak contoh yang menggambarkan bagaimana masyarakat Jepang “mendewakan” disiplin, disiplin waktu misalnya. Bagi orang Jepang, keterlambatan tanpa kabar berarti akan membuat orang lain khawatir dan berfikir pada hal-hal buruk yang mungkin terjadi seperti kecelakaan, sakit atau halangan yang menyulitkan. Sehingga ketika seseorang tidak bisa menghindari keterlambatan, mereka akan memberikan kabar terlebih dahulu. Apabila mereka membiarkan keterlambatan tanpa pemberitahuan apapun adalah suatu kesalahan besar karena dianggap tidak menghargai perasaan orang lain. Kebiasaan orang Jepang untuk menghindari keterlambatan adalah datang lebih awal dari waktu yang disepakati.
Pepatah Jepang “Kunshi wa hitori otsutsa shinu” (orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri) menggambarkan bagaimana orang Jepang mengedepankan disiplin dan tidak mau mempertaruhkan nama baiknya hanya untuk melanggar aturan. Ada sebuah kasus yang cukup menarik bagi penulis untuk menggambarkan hal ini. Jepang merupakan negara yang cukup liberal untuk mengakses hal-hal yang berbau pornografi melalui internet atau medianya. Namun demikian jangan coba-coba mengakses situs-situs porno pada saat jam kerja. Seorang pegawai negeri di Jepang berhasil mengunjungi 780.000 alamat situs porno melalui komputernya saat jam kerja. Akibatnya ia harus rela turun jabatan sekaligus penurunan gaji USD190 setiap bulannya. Penulis jadi agak heran di negeri yang tidak mendewakan agama sebagai jalan hidupnya tetapi ternyata pelanggaran moralitas pada waktu jam kerja ternyata masih ada sangsinya. Kira-kira kalau ditempat kita bagaimana ya?
Pepatah Jepang “Kunshi wa hitori otsutsa shinu” (orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri) menggambarkan bagaimana orang Jepang mengedepankan disiplin dan tidak mau mempertaruhkan nama baiknya hanya untuk melanggar aturan. Ada sebuah kasus yang cukup menarik bagi penulis untuk menggambarkan hal ini. Jepang merupakan negara yang cukup liberal untuk mengakses hal-hal yang berbau pornografi melalui internet atau medianya. Namun demikian jangan coba-coba mengakses situs-situs porno pada saat jam kerja. Seorang pegawai negeri di Jepang berhasil mengunjungi 780.000 alamat situs porno melalui komputernya saat jam kerja. Akibatnya ia harus rela turun jabatan sekaligus penurunan gaji USD190 setiap bulannya. Penulis jadi agak heran di negeri yang tidak mendewakan agama sebagai jalan hidupnya tetapi ternyata pelanggaran moralitas pada waktu jam kerja ternyata masih ada sangsinya. Kira-kira kalau ditempat kita bagaimana ya?
Orang Jepang juga memegang teguh kemandirian dan berusaha untuk tidak bergantung kepada orang lain. Fenomena pengemis nampaknya selama penulis tinggal di Jepang belum pernah sekalipun melihat adanya pengemis yang berkeliaran, yang tentunya bagi beberapa negara Asia termasuk di Indonesia menjadi permasalahan sosial yang sulit untuk dipecahkan. Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Di Jepang, anak-anak usia SD biasanya membawa 3 tas besar yang berisi pakaian, handuk, sepatu, bekal makan siang (bento), buku-buku dan botol minuman. Setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri.
Selepas SMA anak-anak biasanya akan terpisah dari orangtuanya dan hidup secara mandiri dengan bekerja sampingan atau lebih dikenal dengan istilah arubaito (kerja paruh waktu) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliahnya. Pada masa ini orang tua masih tetap membantu apabila diperlukan dan bersifat pinjaman. Usia lanjut juga tidak menjadikan orang Jepang hanya duduk dan berleha-leha, di jalanan banyak lansia walaupun sudah agak payah berjalan dengan bantuan gerobak belanjaannya sebagai pegangan tetap menjalankan aktivitasnya untuk pergi berbelanja dan beraktivitas seperti yang lainnya.
2. Semangat Kerja dan penghargaan yang tinggi terhadap pekerjaan
Orang Jepang memiliki kecenderungan sebagai orang pekerja bahkan terkadang cenderungworkaholic (gila kerja). Pulang cepat adalah sesuatu yang “memalukan” di Jepang dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Orang Jepang sudah terbiasa kerja extra dengan tanpa adanya uang lembur. Mereka terbiasa menghabiskan waktu di tempat kerja dengan mengorbankan waktu bagi keluarganya. Tak aneh kalau orang Jepang suka bekerja keras. Selain merupakan status dan prestise bagi mereka, sejak kecil mereka sudah terbiasa mendengar kata-kata penyemangat seperti gambatte kudasaiyang artinya berusahalah/berjuanglah atau gambarimashoo yang artinya ayo berusaha.
Penghargaan yang tinggi terhadap pekerjaan, menjadikan orang Jepang bekerja secara profesional dan fokus terhadap pekerjaan. Mereka tidak meremehkan suatu pekerjaan, karena mereka beranggapan bahwa semua orang akan memberikan kontribusi cukup penting apapun jenis pekerjaannya.
Maka tak heran kalau untuk aktualisasi diri, seorang mantan PNS setelah pensiun bisa beralih menjadi tukang parkir di kampus. Seorang mantan manager multi nasional company setelah pensiun beralih menjadi supir taksi. Walaupun ini sebuah kebetulan yang penulis temui, nampaknya aktualisasi diri orang Jepang diwujudkan dengan tetap bekerja setelah masa pensiunnya.
0 comments:
Post a Comment